Oleh : Mi'raj Dodi Kurniawan
Mudah dipahami bahwa HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) lumayan familiar di kalangan aktivis dan para pelajar di
berbagai kampus di tanah air lantaran dicatat dan menjadi salah satu obyek
diskursus menarik dalam buku-buku sejarah perjalanan negeri ini. Dan variabel
utama sekaligus pemain utama dalam proses pencatatan tersebut, tentu saja para
alumninya yang bergiat dalam dunia kepenulisan. Kalau tanpa para alumni yang
menuliskan dengan perasaan keterikatan dengan HMI, bisa jadi HMI terhempas dari
sejarah (diskursus sejarah) sehingga gaung dan imej himpunan tidak mencuat
seperti sekarang.
Banyak para alumni HMI yang menjadi
dosen atau intelektual bahkan politisi namun bergiat juga dalam dunia literasi
lantas menuliskan alam pikiran dan sepenggal sejarah aktifitas organisasi ini
sehingga secara langsung maupun tidak langsung, mengenalkan himpunan ke dalam
benak khalayak kaum remaja, muda, dan kelompok-kelompok kebangsaan lainnya.
Dalam kadar tertentu, catatan alam pemikiran dan sejarah HMI juga sekrup
penting dalam mengonsolidasikan gagasan perjuangan dan mesin pergerakan para
aktivisnya, tidak saja ketika masih aktif akan tetapi juga selepas aktif dan
bergabung dengan KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam).
Mengenai para penulis sejarah HMI
itu, sebut saja beberapa diantaranya: Nurcholish Madjid, Deliar Noer, Agussalim
Sitompul, Ahmad Wahib, Sulastomo, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Jimly
Asshiddiqie, Fachry Ali, Bahtiar Effendy, Anas Urbaningrum, Alfan Alfian Dua,
dan seterusnya. Tetapi ah, itu hanya dari internal. Jangan salah, dari
eksternal pun ada. Pada 1982 silam, pernah terbit buku berjudul Himpunan
Mahasiswa Islam yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan buah karya Victor
Tanja, Ph.D (seorang dosen dan Dekan Fakultas Theologia Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga dan pendeta Protestan yang melayani jemaat Gereja
Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Bogor, Jawa Barat).
"Bukan yang terkuat melainkan
yang adaptiflah yang berumur panjang" ujar Charles Darwin. Dan kalimat
ini, entah sejak kapan, acap dikutip dalam teks-teks resmi di lingkungan HMI.
Poin penting dari kalimat ini dan seperti hendak ditegaskan pula oleh HMI
adalah adaptif dan berumur panjang. Sebagai organisasi mahasiswa tertua di
negeri ini, kalimat ini seperti berpesan bahwa jika HMI hendak bertahan dalam
pusaran sejarah negeri ini, maka ia harus adaptif. Soal adaptif ini, HMI memang
harus belajar dari dibubarkannya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia pada
awal tahun 1960.
Setidaknya ada tiga hal sehingga
HMI masih bertahan sampai saat ini. Pertama, tentu saja perekrutan kader dari
sederet program perkaderan serta aktifitas sosial dan politik HMI. Kedua,
relasi relatif adaptif dengan para alumni HMI dan para pemangku kebijakan serta
masyarakat di negeri ini. Ketiga, HMI masih menjadi organisasi yang menarik dan
artikulatif dalam melakukan pengembangan intelektualitas dan regenerasi
kepemimpinan para mahasiswa.
Ada benarnya bahwa selain
penggenjotan dalam segi intelektual, will to power kader HMI juga lumayan
besar. Dalam hal yang terakhir ini, orang bisa menelitinya dalam aktifitas
kader HMI dan mengecek akurasi kabar yang menyatakan bahwa 30 persen anggota
DPR saat ini adalah anggota KAHMI. Para penegak hukum seperti KPK, MK, dan MA
juga diklaim banyak yang anggota KAHMI. “Di semua partai ada orang KAHMI. Di
Golkar, PDIP, PKB, Demokrat, PAN” kata Ketua Majelis Etik KAHMI, Muhammad Jusuf
Kalla.
Karena itu, mudah dipahami jika
belakangan ini, beberapa alumni HMI juga dikabarkan terciduk kasus korupsi.
Sebab jika mengutip frase dari Lord Acton: ""Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad
men", maka tersirat, yang bisa korup hanyalah yang berkuasa. Jadi jika
tidak ingin korup, bahkan sekecil zarah pun, sebaiknya orang itu tidak usah
berkuasa, termasuk dalam bentuk kekuasaan yang sekecil zarah. Dan itu tidak
mungkin, bukan?
Selamat milad HMI: 5 Februari 1947
– 5 Februari 2014.