Oleh : Muh. Ikhwan
Kalau ada hari bersejarah bagi
insan pers di Indonesia, maka salah satunya adalah 09 Februari. Sebab berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985, Presiden RI
telah menetapkannya sebagai
Hari Pers Nasional (HPN) yang bertepatan
dengan ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Setelah mengalami pengebirian
pada zaman Orde Baru, maka di zaman Reformasi seperti sekarang ini, pers nasional sudah memasuki era pers bebas. Hal ini ditandai dengan semakin terbukanya
kesempatan bagi para insan pers untuk mempraktikkan ilmu jurnalistik dan beropini dengan lepas, bebas, dan leluasa. Konsep kemerdekaan pers itu sendiri sesungguhnya
ialah hak beroleh informasi dan menyampaikan opini publik.
Akan tetapi jika
ditilik dari segi substansi dan fungsi jurnalistiknya, belakangan ini insan
pers juga harus pintar-pintar mendayung di antara dua karang: pengebirian vis a vis kebebasan pers. Pengebirian
pers jelas menindas. Namun penyalahgunaan akibat kebebasan pers juga tidak
kalah menindasnya. Jadi, quo vadis
dunia jurnalistik dan insan pers?
Sebagai media massa, sasaran pers adalah khalayak ramai. Kegiatannya adalah mencari, memperoleh, serta menyampaikan beragam informasi, baik dalam bentuk
tulisan, suara, maupun gambar. Karena itu sebagai pilar keempat negara demokratis, pers menggenggam kekuatan besar dan berpengaruh. Melalui tulisan, suara, maupun gambar yang dipublikasikan,
pers berpotensi untuk menekan, mengarahkan, dan
menggiring opini dan persepsi publik. Opini dan persepsi publik sendiri adalah salah satu
faktor asupan bagi publik dalam bersikap dan bertindak menciptakan realitas di
masa kini dan masa depan.
Manakala mengingat
kembali sejarah
pembentukan PWI pada tahun 1946, terendus aroma semangat dan kegigihan insan pers dalam memperjuangkan independensi
pers, terutama dari pengebirian birokrasi. Bukankah pada saat itu lahir jargon, “Biarkanlah pers mengatur dirinya sedemikian rupa, sehingga tidak ada
lagi campur tangan birokrasi”.
Maka dengan bermodalkan independensi itu, pers diharapkan dapat menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan independensinya pula, pers diharapkan berperan
mengawasi, mengkritik dan mengoreksi serta menyampaikan saran-saran yang berkaitan
dengan kemaslahatan dan kepentingan
umum. Singkat kata, memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Dalam kadar
tertentu, kini kebebasan pers sudah menjadi realita. Sayangnya, hingga saat ini
nasib bangsa masih terasa mengecewakan. Di satu sisi, pemerintah belum mampu memenuhi ekspektasi kita untuk beroleh kehidupan yang lebih baik. Namun pada sisi yang lain,
hampir tiap hari pula kita disuguhi tontonan yang kurang mendidik seraya mengabaikan terjadinya transformasi
sosial.
Kebebasan pers
memang telah bergulir. Namun sialnya, muncul kecenderungan ia malah lebih dekat
dan berkubang dalam orientasi pengarusutamaan keuntungan finansial sekaligus
mengabaikan kepentingan transformasi
publik. Dalam kadar
tertentu, pers memang telah terbebas dari campur tangan birokrasi, tetapi pada
saat yang sama ia malah terenggut dari visi idealnya.
Kini semakin
terendus terjadinya hubungan tak suci (unholy
relationship) antara pers dengan para pemodal dan penguasa yang mengabaikan
kemaslahatan dan kepentingan publik. Karena itu sulit dipungkiri, mereka telah
berselingkuh. Pers terjerembab dalam
adegan tarik-menarik kepentingan di antara mereka. Tujuannya tentu saja lahirnya interaksi simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) di antara mereka, yang
sialnya malah tidak jarang bertentangan dengan gerakan tranformasi sosial.
Dengan kemampuan
modal finansial yang dimilikinya, pengusaha terbukti dapat memperalat pers memperbesar posisi
tawar dan mendongkrak
popularitasnya. Sebaliknya, pers juga terbukti bisa memanfaatkan posisi tawarnya untuk beroleh keuntungan finansial
manakala ‘bekerja sama’ dengan
pengusaha dan penguasa. Sialnya, tidak
jarang malah fungsi pers
sebagai gerakan kontrol sosial (social control) terabaikan, hingga aktifitas pers menjadi kurang bersesuaian lagi dengan kaidah pers itu sendiri.
Belakangan ini, sering kita dengar, lihat, dan baca pihak pers kebablasan dalam memberitakan informasi. Tidak
jarang suatu informasi yang tidak
begitu penting dalam sudut pandang
transformasi sosial malah didandani
sedemikian rupa agar terlihat seksi dengan mem-blow-up (mempublikasikan)
secara bertubi-tubi dan berlebih-lebihan ke hadapan massa. Bahkan dalam kadar tertentu, pers sudah menjadi alat untuk menutupi kebenaran dan keadilan itu sendiri demi tercapainya tujuan agitasi dan propaganda yang bersifat rendah (banal).
Padahal jika praktik semacam itu dilanjutkan, maka alih-alih menggerakkan masyarakat ke arah yang lebih baik (transformasi sosial), pers malah bukan saja wajib bertanggung jawab
lantaran menjauhkan masyarakat dari takdirnya untuk mengalami kehidupan yang
lebih baik, melainkan juga mengadu
domba kelompok-kelompok
sosial di masyarakat yang berefek pada terjadinya perpecahan (disintegrasi) sosial dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Tentu fenomena ini tidak pantas kita biarkan begitu
saja. Sebagai masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, sudah saatnya pers kita kembalikan ke
habitat aslinya. Apa habitat asli pers itu? Ialah eksponen demokratisasi
yang mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi dan opini untuk tujuan
perbaikan kualitas hidup kita (publik), baik dalam segi pemikiran, perasaan, fasilitas
publik maupun finansial. Sebab
kebahagian yang hakiki sebagai warga negara ini adalah melihat Indonesia yang berbahagia.